Bagitu banyak musibah kemanusian terjadi di bangsa ini mulai dari masalah pajak, korupsi, sampai pada masalah yang terjadi pada induk organisasi sepak bola tertinggi di Indonesia, PSSI. Kisruh yang terjadi di PSSI merupakan masalah lama yang terus menggerogoti badan sepak bola tertinggi di Indonesia itu, namun ketidaktegasan hukum yang absurd menjadi kendala untuk penyelesaiannya. FIFA dalam peraturannya menjelaskan bahwa hukum dalam sepak bola yang diterapkan FIFA untuk seluruh anggotanya berbeda dan tidak dapat dicampuradukan dengan hukum positif dalam negara yang bersangkutan. Ini berarti dalam pelaksanannya apapun yang terjadi dalam tubuh PSSI, Pemerintah Indonesia dan penguasa yang menajabat tidak dapat mencampuri daerah PSSI. FIFA tidak segan-segan akan menjatuhkan sanksi bagi negara bila pemerintahnya ikut campur dalam persepakbolaan. Tercatat banyak negara yang sudah merasakan hukuman FIFA tersebut seperti Nigeria, Irak, bahkan negara sekelas Perancis pun pernah mendapatkannya. Hukuman yang diterima berbeda mulai dari larangan bertanding sampai pengeluaran dari keanggotaan FIFA. Hal tersebut menjadi dilema tersendiri dikarenakan perlunya kontrol dari masyarakat terhadap penyelenggaraan sepak bola dalam negeri karena hal yang demikian rawan akan adanya pihak yang otoriter.
Masa kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI yang dimulai tahun 2003 sampai saat ini menjadi sorotan tersendiri di masyarakat. Bagaimana tidak sudah dua periode Nurdin menduduki kursi kepemimpinan di PSSI dan mencalonkan diri lagi untuk periode ketiganya. Selain tidak dapat memberikan prestasi membanggakan kepada publik Indonesia, Nurdin juga banyak memberikan kontroversi dalam masa kepemimpinannya. Tercatat sudah dua kali Nurdin masuk penjara dan bersikukuh untuk tetap memegang jabatannya di PSSI sebagai Ketum dan akan memerintah dari balik jeruji penjara. Ditambah perilakunya terhadap timnas pada pergelaran piala AFF yang berindikasi sebagai kendaraan politik Nurdin Halid dan golongannya. Dalam pemilihan Ketum PSSI periode 2011-2015 pada awalnya muncul empat nama calon kandidat yang selanjtnya akan melewati tahap verifikasi sebagai Ketum PSSI sesuai standar FIFA. Sebutlah Arifin Panigoro, George Toisutta, Nurdin Halid, dan Nirwan Bakrie. Empat nama itu muncul sampai pada keputusan yang menyebutkan bahwa dua nama yaitu George Toisutta dan Arifin Panigoro tidak lolos dalam verifikasi berdasarkan keputusan FIFA, sementara dua calon lainnya yaitu Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie lolos dalam tahap verifikasi hal tersebut terjadi sebelum FIFA menyatakan sikapya terhadap kisruh yang te rjadi pada PSSI.
Lolosnya Nurdin Halid dalam tahap veifikasi sebagai calon kandidat Ketua Umum PSSI menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat Indonesia terlebih bagi mereka pencinta sepak bola. Dalam statuta FIFA Pasal 32 ayat 4 disebutkan “they shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offence and have residency within the territory of X”. Masih dalam ingatan bagaimana Nurdin Halid terlibat dalam setidaknya empat kasus korupsi dan sempat dua kali mendekam di penjara. Kisah PSSI tidak berhenti di Nurdin Halid tetapi terus berlanjut dalam jajarannya. Nama-nama seperti Nugraha Besoes, Nirwan Bakrie, sampai dengan Andi Darussalam Tabusalla pun terindikasi sebagai aktor dari kerusakan PSSI. Pengelolaan keuangan yang tidak transparan, kepengurusan yang otoriter, tidak adanya regenerasi kepengurusan PSSI, sampai pada politisasi timnas menjadi bukti bahwa bagaimana kinerja PSSI yang tidak profesional. Ditambah dengan masala yang terus berlanjut terhadap pengunaan angaran belanja daerah yang sanagat rentan terhadap korupsi dan politisasi. Kecacatan sepak bola Indonesia tidak hanya terletak pada pihak internat PSSI, namun lebih panjan dari itu. Apabila ditarik benang panjang maka masalah dalam persepakbolaan Indonesia akan terus berlanjut sampai pada ranah politik yang menurut staua FIFA harus bersih dalam dunia sepak bola. Kemelut yang dihadapi sepak bola Indonesia bukanlah hanya sebatas kepengurusan dan sepak bola, tetapi lebih dari itu PSSI telah menciderai sportifitas yang seharusnya dimiliki oleh pengurus bahkan ketua dari organisasi olahraga di bangsa ini. Demokrasi, peraturan, sampai pada hukum di negeri ini seolah enjadi permainan dari Nurdin Halid. Beribu alasan diungkapkan sebagai wujud kilahnya dia terhadap bencana yang ditimbulkannya. Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini bukan lagi pendudukan dari bangsa lain tetapi bagaimana negara ini bisa lepas dari penjajahan anak bangsanya sendiri. Orang yang menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai profesi bukan sebai wujud pengabdian untuk Indonesia yang lebih baik. Sepak bola Indonesia adalah milik seluruh rakyat Indonesia bukan milik kelompok demi pencitraan, timnas indonesia adalah sebelas putra anugerah Tuhan untuk merebut kebangaan bagi bangsanya bukan sebagai kendaraan politik golongan.
Saat sepak bola dikuasai oleh tikus pemerintahan untuk kepentingan, saat kemenangan untuk bahan pencitraan, saat kepercayaan diselewengkan pantaskah hanya diam ? diam untuk PSSI yang lebih terbelakang atau hanya menunggu ? menunggu timnas Indonesia menjadi pelayan politik kepenting an.
Sejatinya sepak bola Indonesai dipimpin oleh imam yang mengerti dan berani berjuang untuk majunya persepakbolaan Indonesia. Orang yang memiliki visi dan pandangan hidup untuk menjadikan timnas Indonesia kembali meraih supremasi sebagai macan Asia, gelar yang cukup lama melekat untuk Timnas Indonesia.
Apabila sepak bola digunakan untuk pencitraan
Pengaturan skor dan korupsi menjadi tradisi
Menuduh suara rakyat ditunggangi dan beralibi
Maka hanya ada satu kata : LAWAN !
Gubahan dari puisi Wiji Thukul, Peringatan.